Di
negara-negara yang menganut paham merkantilisme terjadi perubahan besar
terutama setelah Perkembangan teknologi perkapalan di Eropa Selatan semakin memberi
basis bagi embrio kolonialisme/imperialisme dan kapitalisme, dimana mereka
mencoba untuk mencari daerah baru yang kemudian diklaim sebagai daerah
jajahannya dengan semboyan Gold, Gospel, dan Glory, mereka membenarkan
tujuannya dengan alasan penyebaran agama dan dalam bentuk kapitalisme dagang
(merkantilisme) dan sejak itu feodalisme di masyarakat pra-Indonesia mempunyai
lawan yang sekali tempo bisa diajak bersama memusuhi dan melumpuhkan rakyat.
Daerah operasinya terbatas di daerah pesisir dan kota besar, seperti Malaka dan
Banten. Bentuk komoditinya bertumpu pada komoditi pertanian dan perkebunan,
seperti tanaman keras atau rempah-rempah. Komoditi ini adalah kebutuhan pokok
utama untuk industri farmasi di Eropa.
Kolonialisme
dan imperialisame merebak di mana-mana, termasuk di tanah Nusantara, Tahun 1469
adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin raja muda
portugis Vasco da Gama. Tujuannya mencari rempah-rempah yang akan dijual
kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di
tahun 1512. Penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara tahun 1596, dengan
mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten.
Kolonialisme
yang masuk pertama di Indonesia merupakan sisa-sisa kapitalisme perdagangan (merkantilisme).
Para kapitalis-merkantilis Belanda masuk pertama kali ke Indonesia melalui
pedagang-pedagang rempah-rempah bersenjata, yang kemudian diorganisasikan dalam
bentuk persekutuan dagang VOC tahun 1602, demikian juga dengan Portugis, dan
Spanyol. Para pedagang bersenjata ini, melakukan perdagangan dengan para
feodal, yang seringkali sambil melakukan ancaman, kekerasan dan perang (ingat
sejarah pelayaran Hongi).
Kekuasaan
kolonial Belanda ini terinterupsi 4 tahun dengan berkuasanya kolonialisme
Inggris sampai tahun 1813. Kolonialisme Inggris masa Raffles, adalah tonggak
penting hilangnya konsep pemilikan tanah oleh kerajaan. Sebab dalam konsep
Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan pada raja, tapi milik negara.
Karenanya pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente (pajak tanah)
–pajak ini mengharuskan sistem monetar dalam masyarakat yang masih
terkebelakang sistem moneternya, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya rentenir
dan ijon.
Di sisi yang
lain, kalangan kolonialis-kapitalis juga memanfaatkan kalangan feodal untuk
menjaga kekuasaannya. Hubungan antara para kolonialis-kapitalis dengan para
feodal adalah hubungan yang saling memanfaatkan dan saling menguntungkan,
sedangkan rakyatlah yang menjadi objek penindasan dan penghisapan dari kedua
belah pihak Kapitalisme yang lahir di Indonesia bukan ditandai dengan
dihancurkannya tatanan ekonomi-politik feodalisme, melainkan justru ada usaha
revitalisasi dan produksi ulang tatanan ekonomi-sosial-politik-ideologi-budaya
feodal untuk memperkuat kekuasaan kolonialisme. Karena adanya revolusi industri
terjadi kelebihan produksi yang membutuhkan perluasan pasar; membutuhkan sumber
bahan mentah dari negeri asalnya; membutuhkan tenaga kerja yang murah — mulai
melakukan kolonialisasi ke negara-negara yang belum maju. terlebih seusai
berhasil menjatuhkan monarki absolut. Tapi pertumbuhan ini dimulai dalam bentuk
paling primitif dan sederhana. Hal ini sangat berbeda dengan lahirnya
kapitalisme di negara-negara Eropa dan Amerika. Di kedua benua tersebut,
kapitalisme lahir sebagai wujud dari dihancurkannya tatanan
ekonomi-sosial-politik-ideologi-budaya feodal. Contoh kasus yang paling jelas
adalah adanya revolusi industri di Inggris yang mendahului terjadinya revolusi
borjuasi di Perancis
Mulainya
Zaman Imperialisme (Kapital-Finans) di Indonesia, 1895
Dalam krisis hebat tahun 1895 sebagian besar dari kapitalis-kapitalis partikelir di negeri Belanda mengalami kehancuran, sehingga mengakibatkan kapital-finans berkuasa penuh. Jadi, zaman kapital-industri yang berdasarkan persaingan bebas tidak lama di Indonesia, hanya kira-kira 25 tahun (1870-1895). Kapital-industri yang berdasarkan persaingan bebas segera disusuli oleh zaman imperialisme yang dimulai tahun 1895, yaitu zaman di mana kapital-finans, yakni perpaduan antara kapital-bank dengan kapital-industri, memegang monopoli atas kehidupan ekonomi dan politik Indonesia.
Dalam krisis hebat tahun 1895 sebagian besar dari kapitalis-kapitalis partikelir di negeri Belanda mengalami kehancuran, sehingga mengakibatkan kapital-finans berkuasa penuh. Jadi, zaman kapital-industri yang berdasarkan persaingan bebas tidak lama di Indonesia, hanya kira-kira 25 tahun (1870-1895). Kapital-industri yang berdasarkan persaingan bebas segera disusuli oleh zaman imperialisme yang dimulai tahun 1895, yaitu zaman di mana kapital-finans, yakni perpaduan antara kapital-bank dengan kapital-industri, memegang monopoli atas kehidupan ekonomi dan politik Indonesia.
Untuk
menyelamatkan dan menjamin hari depan kapital yang diekspor dari Eropa, maka
kaum imperialis Belanda melakukan dua tindakan penting: menundukkan seluruh
daerah Indonesia, secara politik dan militer, dan mengadakan
penyelidikan-penyelidikan mengenai kemungkinan perkembangan kapital yang tak
terbatas. Tindakan kaum imperialis Belanda ini sesuai dengan perpindahan
kapitalisme pra-monopoli ke tingkat kapitalisme monopoli, yaitu zaman kekuasaan
kapital-finans. Perpindahan ini tak terpisahkan dengan makin intensifnya
perjuangan kaum imperialis untuk membagi-bagi dunia. Kapital-finans berusaha
pada umumnya untuk merebut tanah sebanyak-banyaknya dari macam apa saja, di
mana saja dan dengan semua jalan, karena memperhitungkan sumber-sumber
potensiil akan bahan-bahan mentah dan takut ketinggalan dalam perjuangan sengit
untuk mendapat jengkal-jengkal terakhir dari wilayah yang belum dibagikan atau
untuk membagi kembali tanah-tanah yang sudah dibagi.
Untuk
menundukkan seluruh Indonesia di bawah kekuasaan Belanda maka dilakukanlah
peperangan kolonial besar-besaran pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad
ke-20 sehingga dapatlah Belanda meluaskan kekuasaannya ke Bali, Lombok,
Sumbawa, Dompu, Flores, Bone, Banjarmasin, Jambi, Riau, Tapanuli, Aceh, dan
lain-lain. Untuk menjamin keuntungan yang luar biasa, pemerintah Belanda
mengadakan pemeriksaan di lapangan ilmu tanah, ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan,
ilmu hewan, dan sebagainya. Juga adat-istiadat, bahasa, agama, kesenian dan
sejarah suku bangsa-suku bangsa dipelajari oleh orang-orang Belanda.
Jadi,
imperialisme telah menghancurkan monopoli negara yang berbentuk
“cultuurstelsel”, tetapi bersamaan dengan itu telah mendatangkan monopoli yang
baru, yaitu monopoli kapital-finans. Karena kaum imperialis Belanda lemah
kedudukannya dalam militer dan tidak mampu sendirian membela Indonesia dengan
senjata, maka sejak tahun 1905 kaum imperialis Belanda terpaksa menjalankan
politik pintu-terbuka (opendeur politiek), artinya Indonesia dibuka menjadi
lapangan eksploitasi kaum kapitalis dari segala negara kapitalis, terutama
negara-negara Inggris dan Amerika. Dengan menjalankan politik pintu-terbuka
kaum imperialis Belanda memperhitungkan dua keuntungan:
1) berupa kenaikan
hasil pajak yang didapat dari perusahaan-perusahaan imperialis;
2) berupa
pertahanan bersama antara negara-negara imperialis untuk melindungi
kepentingan-kepentingannya di Indonesia, dan bersamaan dengan itu kaum imperialis
Belanda juga dapat menjalankan politik keseimbangan antara negara-negara
imperialis agar Indonesia tidak dicaplok oleh negara imperialis yang lain.
Imperialisme telah mengganti perbudakan model “cultuurstelsel” dengan
perbudakan model “baru” yang antara lain berbentuk “poenale sanctie”, yaitu
peraturan yang berisi ketentuan hukuman bagi mereka yang menyalahi kontrak
sebagai alat penjamin tenaga kerja murah bagi onderneming-onderneming
(perkebunan) asing.
Karena dalam
zaman sebelum-imperialisme, Indonesia sudah dikuras dan dirusak habis-habisan,
maka imperialisme harus memulai dengan menciptakan dasar-dasar elementer untuk
suatu sistem penghisapan modern, penghisapan yang lebih intensif dan sistematis
terhadap Rakyat dan kekayaan Indonesia. Sudah sejak permulaan zaman
imperialisme pemerintah Hindia Belanda menjalankan apa yang dinamakan “politik
etis” (“politik susila”), yaitu politik yang antara lain mengurangi rodi,
mereorganisasi dinas-dinas kesehatan, sedikit meluaskan irigasi, dan mendirikan
sekolah-sekolah rendah, sekolah-sekolah guru normal, sekolah-sekolah teknik,
sekolah-sekolah menengah umum, dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan
imperialisme akan kaum buruh dan pegawai bumiputera yang murah tetapi
berpendidikan.
Dalam zaman
imperialis Indonesia merupakan sumber bahan mentah buat negeri-negeri
imperialis, sumber tenaga kerja yang sangat murah, pasar untuk menjual hasil
produksi negeri-negeri imperialis dan tempat penanaman kapital asing (Belanda,
Inggris, Amerika, Jepang, Perancis, Italia, dan lain-lain).
Politik
kolonial kaum imperialis samasekali bukan untuk memajukan industri Indonesia,
tetapi untuk memajukan industri negeri imperialis sendiri. Kaum imperialis
menentang sekeras-kerasnya perkembangan industri yang luas di Indonesia, dan
inilah sebabnya kerajinan tangan dari Rakyat tidak berkembang menjadi industri
modern seperti yang terjadi di Eropa.
Perusahaan-perusahaan
bangsa Indonesia sangat terbatas perkembangannya, misalnya hanya meliputi
perusahaan menganyam topi, tikar, keranjang, batik, dan rokok kretek. Yang agak
maju ialah perusahaan-perusahaan batik, di antaranya ada yang mempunyai puluhan
sampai ratusan kaum buruh. Perusahaan-perusahaan ini sangat tergantung pada
importir-importir asing yang mendatangkan keperluan-keperluan perusahaan batik.
Perusahaan-perusahaan rokok kretek juga sangat tergantung pada
importir-importir asing dan mendapat saingan berat dari industri-industri rokok
Eropa yang modern. Perusahaan-perusahaan batik atau rokok kretek yang agak
besar umumnya dimiliki oleh orang-orang Arab, Tionghoa dan Eropa.
Industri
nasional di zaman imperialis sangat dihalangi oleh politik imperialis untuk
berkenalan dengan mesin-mesin modern. Hal inilah yang terutama mengakibatkan
Indonesia berada dalam kedudukan yang sangat sukar dalam memenuhi kebutuhannya
akan barang-barang hasil industri selama Perang Dunia ke-2 dan selama Revolusi
1945-1948.
Indonesia
mempunyai syarat yang cukup untuk menjadi negeri industri yang modern dan kuat,
karena Indonesia adalah negeri yang kaya dengan kekayaan alam seperti batubara,
besi, minyak tanah, timah, bauxit, mangaan, tembaga, chrom, air-rasa, yodium,
aspal, emas, perak, seng, uranium dan lain-lain. Tetapi kaum imperialis tidak
menjadikan Indonesia negeri industri. Kaum imperialis mendirikan perusahaan-perusahaan
pengangkutan seperti kereta api, mobil dan kapal serta mendirikan
pelabuhan-pelabuhan untuk mengangkut barang dagangan-barang dagangan yang
berupa hasil bumi-hasil bumi tropis, atau untuk memudahkan gerak-gerik militer
guna mengontrol dan guna keamanan penjajahan mereka. Mereka mendirikan
industri-industri pembantu untuk keperluan-keperluan reparasi dan untuk
mengerjakan bahan-bahan mentah buat ekspor. Industri yang termasuk agak maju
yang didirikan oleh kaum imperialis ialah industri pertambangan (minyak, timah,
bauxit, batubara, dsb), pabrik gula, pabrik teh, pabrik kopi, pabrik minyak
kelapa, penggilingan beras, pabrik tembakau, dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar