Sabtu, 08 Juni 2013

Revolusi Nasional 17 Agustus 1945




Paska diberhentikannya pelaksanaan Sistem Tanam Paksa atau STP secara resmi pada tahun 1870, kekuasaan kolonial di Indonesia membuka kran bagi masuknya modal swasta asing Belanda. UU Agraria diterbitkan untuk memfasilitasi pihak swasta melakukan penguasaan tanah dalam jumlah besar melalui hak erfpacht (HGU-sekarang). Penguasaan tanah dalam jumlah besar tersebut digunakan untuk kepentingan pembukaan perkebunan yang lagi-lagi diperuntukkan bagi penanaman komoditi ekspor seperti teh, tebu, kopi, kina dan lain-lain. Selain juga untuk pendirian pabrik pengolahan hasil perkebunan seperti pabrik gula. Masuknya swasta asing dan juga pelaksanaan politik etis pada awal tahun 1900-an tidaklah bermaksud untuk melakukan proses industrialisasi di Indonesia. Hal ini untuk menjaga dan melindungi industri di negeri Belanda, tidak ada upaya untuk melakukan industrialisasi di Indonesia.

Faktanya perkebunan-perkebunan yang ada masih didasarkan pada basis feodalisme berupa monopoli penguasaan tanah dan dipergunakannya aparatus feodal untuk memobilisasi tanah dan tenaga kerja. Di sinilah kemudian terungkap kebenaran kenyataan bahwa basis bercokolnya penindasan imperialisme adalah feodalisme. Tidak ada perubahan mendasar dibandingkan dengan masa VOC maupun tanam paksa. Demikian juga pada masa politik etis, pembangunan irigasi lebih dimaksudkan untuk kepentingan perkebunan, pendidikan kaum pribumi untuk pengisian birokrasi kolonial sehingga lebih efisien dan transmigrasi pada hakekatnya merupakan mobilisasi tenaga kerja murah untuk perkebunan di luar pulau Jawa.

Pendirian pabrik pengolahan hasil perkebunan dan berdirinya jawatan kereta api pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjadi awal mula kelahiran kelas buruh di Indonesia. Dan semenjak itu, gelora perlawanan Rakyat Indonesia menentang kolonialisme Belanda tidak pernah berhenti dan semakin meningkat. Mulai dari pemogokan-pemogokan buruh sampai dengan pemberontakan kaum tani pada tahun 1888 di Banten dan pemberontakan nasional kaum tani pada tahun 1926. Demikian juga pada abad ke-20 sejarah pergerakan di Indonesia memulai babak baru dengan lahirnya organisasi rakyat yang memiliki karakter modern dan nasional seperti Sarekat Islam (SI) maupun juga ISDV yang kemudian pada tahun 1920 berubah menjadi Perserikatan Komunis di Indonesia dan di kemudian hari menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lahirnya organisasi kelas buruh menjadi sejarah yang penting dalam gerakan revolusioner Rakyat Indonesia melawan imperialisme Belanda maupun imperialisme fasis Jepang sampai pada puncaknya yaitu Revolusi Nasional 17 Agustus 1945. Penting, karena peranannya yang memimpin perjuangan massa rakyat di masa-masa itu.

Revolusi Nasional 17 Agustus 1945 merupakan puncak perlawanan massa rakyat sampai berhasil menumbangkan kekuasaan imperialisme fasis Jepang. Karena itu pada dasarnya Revolusi 17 Agustus 1945 memiliki watak yang anti-imperialisme dan sekaligus juga anti-feodalisme yang selama ini menjadi basis imperialisme. Namun kenyataannya, paska Agustus 1945 Rakyat Indonesia masih harus berjuang melawan agresi imperialisme Belanda yang didukung Inggris dan Amerika. Sampai akhirnya pada tahun 1949, Indonesia harus menandatangani perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) yang sangat merugikan kepentingan Rakyat Indonesia karena secara ekonomi menjamin kepentingan imperialisme di Indonesia dan secara politik menempatkan Indonesia sebagai anggota negara persemakmuran di bawah kekuasaan politik Belanda. Revolusi 17 Agustus 1945 telah gagal menunaikan tugas sejarahnya untuk menghancurkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme serta kapitalisme birokrasi karena beberapa sebab, yaitu:
1. Tidak menarik garis yang tegas untuk melawan kekuatan imperialisme, bahkan pada tahun 1949 telah membuat konsesi dengan imperialisme melalui KMB yang menjadikan Indonesia sebagai negeri setengah jajahan.
2. Tidak segera menjalankan land reform sejati untuk menghancurkan kekuatan sisa-sisa feodalisme yang mengambil wujud monopoli penguasaan tanah dan relasi produksi feodal (sewa tanah, bagi hasil) untuk membebaskan kaum tani dari penindasan.
3. Masih menggunakan aparatus birokrasi lama yang memiliki karakter pencari rente dengan menyalahgunakan jabatannya demi melayani kekuatan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Dan tidak menggantikannya dengan yang sama sekali baru yang sungguh-sungguh melayani dan mengabdi kepada rakyat.
Dengan kegagalan Revolusi 17 Agustus 1945, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita bersama untuk menuntaskan tugas berat dan mulia menghancurkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Menuntaskan Revolusi 17 Agustus 1945 dapat diartikan sebagai tugas untuk melakukan dua agenda pokok pada saat yang bersamaan yaitu menghancurkan dominasi imperialisme AS dan menjalankan land reform yang sejati.
4. Perubahan-Perubahan dalam Masyarakat Akibat Kolonialisme
Dengan berkuasanya imperialisme di Indonesia seperti diterangkan di atas, maka masyarakat kolonial Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Dasar dari ekonomi alamiah untuk diri sendiri (feodalisme) sudah rusak, artinya produksi sudah ditujukan untuk pasar, tetapi eksploitasi atas kaum tani oleh kelas tuan tanah – basis sosial dari eksploitasi feodal – masih tetap berlaku. Eksploitasi ini malahan sudah berjalin dengan eksploitasi kapital asing, kapital komprador dan lintah darat yang berkedudukan menentukan dalam kehidupan sosial-ekonomi Indonesia. Indonesia yang feodal sudah menjadi Indonesia yang semi-feodal.
Sistem semi-feodal (setengah feodal) muncul akibat dominasi dari imperialisme dalam masyarakat feodal lama. Perkembangan imperialisme di Indonesia tidak menghancurkan masyarakat feodal lama menjadi sistem kapitalisme. Karena imperialisme hanya membutuhkan bahan mentah yang melimpah, tenaga produksi yang murah dan luasnya pasar bagi produk mereka. Dalam sejarahnya, imperialisme justru menjadikan kekuatan ekonomi feodal lokal untuk menopang kepentingan mereka. Imperialisme menyadari sepenuhnya bahwa sistem ekonomi lama perlu dipertahankan dalam batas-batas menjamin kepentingan mereka. Ekonomi mencukupi kebutuhan sendiri diganti dengan ekonomi yang berbasis pada uang. Efeknya produk kerajinan lokal tidak bisa berkembang dan hancur karena harus bersaing dengan produk imperialis yang berteknologi tinggi, mudah dan murah yang diimpor dengan ekonomi berbasis uang untuk ditukar dengan produksi bahan mentah dan produk pertanian.

Dalam sistem ekonomi setengah feodal, memang telah diperkenalkan secara luas kerja upahan seperti misalnya buruh tani dan buruh perkebunan besar melalui perluasan perkebunan besar sejak tahun 1870. Namun sistem kerja upahan yang marak di pedesaan tidak secara utuh mencerminkan hubungan kerja yang kapitalistik, tetapi lebih dekat dengan sistem ekonomi feodal. Hal ini disebabkan oleh penentuan upah yang tidak didasarkan pada pasar tenaga kerja (labour market), tetapi lebih banyak ditentukan oleh otoritas tuan tanah maupun tani kaya. Bahkan sering kita jumpai di mana para buruh tani bekerja dengan jam kerja yang tidak pasti, upah yang tidak menentu dan beban kerja tambahan yang seringkali tidak mendapatkan pembayaran (alias gratis). Tuan tanah dan tani kaya dapat melakukan hal ini karena kedudukan politik mereka yang sangat kuat sementara buruh tani dan tani miskin dalam keadaan yang sangat lemah secara politik. Dan hubungan kerja berlangsung secara perseorangan antara tuan tanah dan tani kaya dengan para buruh upahannya.
Sistem setengah feodal dengan mengandalkan monopoli tanah adalah karang raksasa penahan laju lahirnya industri dan industrialisasi Indonesia. Perkembangan tenaga produktif mengalami stagnasi. Pengetahuan dan kapasitas kelas pekerja dibelenggu oleh alat kerja terbelakang yang tidak membutuhkan pekerja terampil dan berpengetahuan. Lebih dari itu, produksi pertanian dan industri yang semacam itu hanya dapat menampung sedikit sekali tenaga kerja, sehingga mempertahankan persaingan tajam antar pekerja untuk memperebutkan lapangan kerja yang amat terbatas. Keadaan ini, secara sistematis, terus menekan upah buruh tani dan kelas buruh di perkotaan dan memaksa mereka menjual tenaga dengan harga yang amat murah.

Monopoli tanah telah menyebabkan semakin terkonsentrasinya tanah di tangan segelintir tuan tanah besar yang terus melancarkan perampasan tanah teristimewa dalam situasi krisis imperialis yang memuncak. Akibatnya, kaum tani yang kehilangan tanah dan hidup dari tanah yang amat terbatas semakin meluas di pedesaan. Keadaan ini telah dimanfaatkan dengan kejam oleh para tuan tanah untuk melipatgandakan keuntungannya dengan mempraktekkan sewa tanah yang mencekik, peribaan berbunga tinggi, upah buruh tani yang amat rendah dan tengkulakisme semakin merajalela. Kaum tani, utamanya buruh tani, tani miskin dan tani sedang-bawah, harus berusaha menjual tenaganya dengan harga amat murah untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar