Paska diberhentikannya pelaksanaan Sistem Tanam Paksa atau STP secara resmi pada tahun 1870, kekuasaan kolonial di Indonesia membuka kran bagi masuknya modal swasta asing Belanda. UU Agraria diterbitkan untuk memfasilitasi pihak swasta melakukan penguasaan tanah dalam jumlah besar melalui hak erfpacht (HGU-sekarang). Penguasaan tanah dalam jumlah besar tersebut digunakan untuk kepentingan pembukaan perkebunan yang lagi-lagi diperuntukkan bagi penanaman komoditi ekspor seperti teh, tebu, kopi, kina dan lain-lain. Selain juga untuk pendirian pabrik pengolahan hasil perkebunan seperti pabrik gula. Masuknya swasta asing dan juga pelaksanaan politik etis pada awal tahun 1900-an tidaklah bermaksud untuk melakukan proses industrialisasi di Indonesia. Hal ini untuk menjaga dan melindungi industri di negeri Belanda, tidak ada upaya untuk melakukan industrialisasi di Indonesia.
Faktanya
perkebunan-perkebunan yang ada masih didasarkan pada basis feodalisme berupa
monopoli penguasaan tanah dan dipergunakannya aparatus feodal untuk
memobilisasi tanah dan tenaga kerja. Di sinilah kemudian terungkap kebenaran
kenyataan bahwa basis bercokolnya penindasan imperialisme adalah feodalisme.
Tidak ada perubahan mendasar dibandingkan dengan masa VOC maupun tanam paksa.
Demikian juga pada masa politik etis, pembangunan irigasi lebih dimaksudkan
untuk kepentingan perkebunan, pendidikan kaum pribumi untuk pengisian birokrasi
kolonial sehingga lebih efisien dan transmigrasi pada hakekatnya merupakan
mobilisasi tenaga kerja murah untuk perkebunan di luar pulau Jawa.
Pendirian
pabrik pengolahan hasil perkebunan dan berdirinya jawatan kereta api pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjadi awal mula kelahiran kelas buruh di
Indonesia. Dan semenjak itu, gelora perlawanan Rakyat Indonesia menentang
kolonialisme Belanda tidak pernah berhenti dan semakin meningkat. Mulai dari
pemogokan-pemogokan buruh sampai dengan pemberontakan kaum tani pada tahun 1888
di Banten dan pemberontakan nasional kaum tani pada tahun 1926. Demikian juga
pada abad ke-20 sejarah pergerakan di Indonesia memulai babak baru dengan
lahirnya organisasi rakyat yang memiliki karakter modern dan nasional seperti
Sarekat Islam (SI) maupun juga ISDV yang kemudian pada tahun 1920 berubah
menjadi Perserikatan Komunis di Indonesia dan di kemudian hari menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI). Lahirnya organisasi kelas buruh menjadi sejarah yang
penting dalam gerakan revolusioner Rakyat Indonesia melawan imperialisme
Belanda maupun imperialisme fasis Jepang sampai pada puncaknya yaitu Revolusi
Nasional 17 Agustus 1945. Penting, karena peranannya yang memimpin perjuangan
massa rakyat di masa-masa itu.
Revolusi
Nasional 17 Agustus 1945 merupakan puncak perlawanan massa rakyat sampai
berhasil menumbangkan kekuasaan imperialisme fasis Jepang. Karena itu pada
dasarnya Revolusi 17 Agustus 1945 memiliki watak yang anti-imperialisme dan
sekaligus juga anti-feodalisme yang selama ini menjadi basis imperialisme.
Namun kenyataannya, paska Agustus 1945 Rakyat Indonesia masih harus berjuang
melawan agresi imperialisme Belanda yang didukung Inggris dan Amerika. Sampai akhirnya
pada tahun 1949, Indonesia harus menandatangani perjanjian KMB (Konferensi Meja
Bundar) yang sangat merugikan kepentingan Rakyat Indonesia karena secara
ekonomi menjamin kepentingan imperialisme di Indonesia dan secara politik
menempatkan Indonesia sebagai anggota negara persemakmuran di bawah kekuasaan
politik Belanda. Revolusi 17 Agustus 1945 telah gagal menunaikan tugas
sejarahnya untuk menghancurkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme serta
kapitalisme birokrasi karena beberapa sebab, yaitu:
1. Tidak
menarik garis yang tegas untuk melawan kekuatan imperialisme, bahkan pada tahun
1949 telah membuat konsesi dengan imperialisme melalui KMB yang menjadikan
Indonesia sebagai negeri setengah jajahan.
2. Tidak
segera menjalankan land reform sejati untuk menghancurkan kekuatan sisa-sisa
feodalisme yang mengambil wujud monopoli penguasaan tanah dan relasi produksi
feodal (sewa tanah, bagi hasil) untuk membebaskan kaum tani dari penindasan.
3. Masih
menggunakan aparatus birokrasi lama yang memiliki karakter pencari rente dengan
menyalahgunakan jabatannya demi melayani kekuatan imperialisme dan sisa-sisa
feodalisme. Dan tidak menggantikannya dengan yang sama sekali baru yang
sungguh-sungguh melayani dan mengabdi kepada rakyat.
Dengan
kegagalan Revolusi 17 Agustus 1945, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita
bersama untuk menuntaskan tugas berat dan mulia menghancurkan imperialisme dan
sisa-sisa feodalisme. Menuntaskan Revolusi 17 Agustus 1945 dapat diartikan
sebagai tugas untuk melakukan dua agenda pokok pada saat yang bersamaan yaitu
menghancurkan dominasi imperialisme AS dan menjalankan land reform yang sejati.
4.
Perubahan-Perubahan dalam Masyarakat Akibat Kolonialisme
Dengan
berkuasanya imperialisme di Indonesia seperti diterangkan di atas, maka
masyarakat kolonial Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Dasar dari
ekonomi alamiah untuk diri sendiri (feodalisme) sudah rusak, artinya produksi
sudah ditujukan untuk pasar, tetapi eksploitasi atas kaum tani oleh kelas tuan
tanah – basis sosial dari eksploitasi feodal – masih tetap berlaku. Eksploitasi
ini malahan sudah berjalin dengan eksploitasi kapital asing, kapital komprador
dan lintah darat yang berkedudukan menentukan dalam kehidupan sosial-ekonomi
Indonesia. Indonesia yang feodal sudah menjadi Indonesia yang semi-feodal.
Sistem
semi-feodal (setengah feodal) muncul akibat dominasi dari imperialisme dalam
masyarakat feodal lama. Perkembangan imperialisme di Indonesia tidak
menghancurkan masyarakat feodal lama menjadi sistem kapitalisme. Karena imperialisme
hanya membutuhkan bahan mentah yang melimpah, tenaga produksi yang murah dan
luasnya pasar bagi produk mereka. Dalam sejarahnya, imperialisme justru
menjadikan kekuatan ekonomi feodal lokal untuk menopang kepentingan mereka.
Imperialisme menyadari sepenuhnya bahwa sistem ekonomi lama perlu dipertahankan
dalam batas-batas menjamin kepentingan mereka. Ekonomi mencukupi kebutuhan
sendiri diganti dengan ekonomi yang berbasis pada uang. Efeknya produk
kerajinan lokal tidak bisa berkembang dan hancur karena harus bersaing dengan
produk imperialis yang berteknologi tinggi, mudah dan murah yang diimpor dengan
ekonomi berbasis uang untuk ditukar dengan produksi bahan mentah dan produk
pertanian.
Dalam sistem
ekonomi setengah feodal, memang telah diperkenalkan secara luas kerja upahan
seperti misalnya buruh tani dan buruh perkebunan besar melalui perluasan
perkebunan besar sejak tahun 1870. Namun sistem kerja upahan yang marak di
pedesaan tidak secara utuh mencerminkan hubungan kerja yang kapitalistik, tetapi
lebih dekat dengan sistem ekonomi feodal. Hal ini disebabkan oleh penentuan
upah yang tidak didasarkan pada pasar tenaga kerja (labour market), tetapi
lebih banyak ditentukan oleh otoritas tuan tanah maupun tani kaya. Bahkan
sering kita jumpai di mana para buruh tani bekerja dengan jam kerja yang tidak
pasti, upah yang tidak menentu dan beban kerja tambahan yang seringkali tidak
mendapatkan pembayaran (alias gratis). Tuan tanah dan tani kaya dapat melakukan
hal ini karena kedudukan politik mereka yang sangat kuat sementara buruh tani
dan tani miskin dalam keadaan yang sangat lemah secara politik. Dan hubungan
kerja berlangsung secara perseorangan antara tuan tanah dan tani kaya dengan
para buruh upahannya.
Sistem
setengah feodal dengan mengandalkan monopoli tanah adalah karang raksasa
penahan laju lahirnya industri dan industrialisasi Indonesia. Perkembangan
tenaga produktif mengalami stagnasi. Pengetahuan dan kapasitas kelas pekerja
dibelenggu oleh alat kerja terbelakang yang tidak membutuhkan pekerja terampil
dan berpengetahuan. Lebih dari itu, produksi pertanian dan industri yang
semacam itu hanya dapat menampung sedikit sekali tenaga kerja, sehingga
mempertahankan persaingan tajam antar pekerja untuk memperebutkan lapangan
kerja yang amat terbatas. Keadaan ini, secara sistematis, terus menekan upah
buruh tani dan kelas buruh di perkotaan dan memaksa mereka menjual tenaga
dengan harga yang amat murah.
Monopoli
tanah telah menyebabkan semakin terkonsentrasinya tanah di tangan segelintir
tuan tanah besar yang terus melancarkan perampasan tanah teristimewa dalam
situasi krisis imperialis yang memuncak. Akibatnya, kaum tani yang kehilangan
tanah dan hidup dari tanah yang amat terbatas semakin meluas di pedesaan.
Keadaan ini telah dimanfaatkan dengan kejam oleh para tuan tanah untuk
melipatgandakan keuntungannya dengan mempraktekkan sewa tanah yang mencekik,
peribaan berbunga tinggi, upah buruh tani yang amat rendah dan tengkulakisme
semakin merajalela. Kaum tani, utamanya buruh tani, tani miskin dan tani sedang-bawah,
harus berusaha menjual tenaganya dengan harga amat murah untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar